Tenun Suku Kajang, Paralel Budaya Dengan Suku Baduy?

Di negeri Tana Toa, tempat Suku Kajang berdiam, tenun adalah pendidikan kecakapan hidup, keterampilan yang diwariskan tidak hanya melalui garis vertikal kekerabatan, melainkan juga horisontal, yang semakin merekatkan keterkaitan emosional mereka satu sama lain.

Tenun, di Suku Kajang lebih dari sekadar menciptakan lembaran-lembaran kain bermotif cantik, tapi merupakan cara pembelajaran hidup yang senantiasa berdampingan dengan alam.


Tidak seperti kampung penghasil tenun lain yang sudah mulai memperjual  belikan tenun mereka, masyarakat Suku Kajang masih menenun untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau untuk keperluan ritual adat. Meskipun ada satu atau dua kain yang dijual kepada pelancong jika mereka datang berkunjung.

Dalam soal menenun, sekali lagi Suku Kajang mengingatkan akan Suku Baduy, baik dari segi motif maupun warna kain tenun. Kedua suku adat tersebut menghasilkan sarung tenun hitam dengan motif garis geometris, yang membuktikan adanya paralel budaya antara Suku Kajang dan Baduy.

Adapun hingga kini, masyarakat Kajang masih mempertahankan motif kuno warisan leluhur, yakni motif ratu puteh, ratu gahu dan ratu ejah. Motif ini hadir berupa garis geometris halus yang membelah sarung tenun secara vertikal.

Namun tidak seperti tenun lain yang juga menjadi simbol status bagi penggunanya, tenun Kajang merepresentasikan keseteraan, semua orang bisa menggunakan motif yang sama di berbagai kesempatan.

Proses menenun di Suku Kajang masih terbilang tradisional dengan alat tenun peninggalan nenek moyang yang terbuat dari kayu. Masyarakat Kajang biasanya menenun di siring (bagian bawah) rumah.

Kendati demikian, sekarang ini mereka sudah tidak lagi menggunakan benang kapas, melainkan benang pabrikan yang diperoleh dari pasar di Kota Makassar.

Sebelum menenun, benang katun warna putih terlebih dahulu melewati proses pewarnaan alam dengan bahan baku daun tarum (daun nila atau indigo) yang telah dicampur kapur panas dan air abu dapur. Pewarnaan ini dilakukan selama dua kali dalam sehari dan berulang-ulang hingga menghasilkan warna biru kehitaman.

Bila sudah hitam, benang-benang dikeringkan untuk kemudian ditenun. Satu sarung Kajang dikerjakan selama kurang lebih 10 hari bila tidak pergi ke ladang, namun bila dikerjakan sembari berladang akan menghabiskan waktu selama dua minggu. Bila sudah menjadi kain, sarung dicuci menggunakan air tanpa sabun, kemudian dijemur.

Setelah kering kain digosok menggunakan bilalu keong laut berbintik untuk menghasilkan warna biru yang mengkilap. Di Suku Kajang, tenun tidak dipisahkan secara gender. Kain laki-laki manapun perempuan tidak ada bedanya.

Proses menenun yang mengajarkan cara hidup berdampingan dengan alam bisa dilihat sejak awal. Mulai pencelupan hingga pencucian, masyarakat Suku Kajang tidak menggunakan satu pun bahan kimia.

Bahkan untuk mencuci kain yang sudah jadi, mereka tidak menggunakan deterjen, hanya murni air. Dari pewarnaan, masyarakat Suku Kajang menggunakan daun nila (Indigofera tinctoria) yang merupakan pewarna alami. Adapun proses menenun yang membutuhkan waktu hingga dua minggu, menjadi ajang melatih kesabaran juga ketekunan.

Menelusuri jejak adat Tana Toa, seakan memasuki kehidupan masa lampau sekaligus zaman sekarang. Di satu sisi, situs-situs yang hanya dijaga warga memberi gambaran suku Kajang tempo dulu.




Sumber : Inilah.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama