Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) Berbeda Dengan E-tilang


Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) berbeda dari e-tilang yang diterapkan sejak Desember 2016. E-TLE dilakukan dengan memanfaatkan kamera CCTV (Closed Circuit Television) dan bukan polisi di lapangan.

Seluruh sistem E-TLE murni diterapkan secara elektronik sejak penindakan pelanggaran hingga proses administrasi.

Setelah Surabaya, uji coba tilang elektronik menggunakan CCTV atau disebut E-TLE akan di uji coba selama sebulan di wilayah hukum Polres Pasuruan Kota

Penilangan elektronik pada e-tilang, hanya berkaitan dengan proses administrasi. Fungsinya untuk mempercepat tugas polisi di lapangan saat menindak pelanggar dengan memanfaatkan aplikasi di Android tanpa harus menulis data di surat tilang secara manual, pun memperlancar proses pembayaran denda.

"Jadi e-tilang itu pra menuju E-TLE. Untuk pengambilan gambar bisa mencapai 10 meter dengan waktu beroperasi 24 jam,

CCTV pun dilengkapi sensor inframerah. Fitur ini memungkinkannya mengambil gambar pengemudi dan identitas kendaraan yang dianggap melanggar lalu lintas secara otomatis. Sekalipun kendaraan bergerak dengan kecepatan lebih dari 35 kilometer per jam.

E-TLE akan menindak pelanggaran batas kecepatan, pelanggaran marka dan rambu jalan seperti menerobos lampu merah atau kendaraan berada di zebra cross saat lampu merah, salah jalur atau melawan arus, kelebihan daya angkut dan dimensi, pengeteman atau parkir liar, dan tak menutup kemungkinan pelanggar yang terekam.

Pengemudi yang ugal-ugalan, tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dan menggunakan ponsel saat berkendara juga akan terdeteksi.

Untuk penentuan biaya tilang disesuaikan dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Biaya tertinggi Rp500 ribu untuk pelanggaran batas kecepatan, tidak memasang pelat nomor, melanggar rambu lalu lintas, tidak membawa STNK, serta pengendara mobil yang persyaratan teknis seperti spion, lampu rem, dan sebagainya tidak lengkap,.

Mekanisme E-Tle, sambung Yusuf, mengandalkan kamera CCTV sebagai sumber data pelanggaran. Hasil rekaman akan langsung terpantau di Traffic Management Center (TMC) Polda Jatim, Di TMC nanti akan ada petugas yang menganalisis tangkapan gambar

Selain digunakan untuk mengidentifikasi pelat nomor dan informasi lainnya tentang pemilik kendaraan, hasil rekaman E-TLE bisa dijadikan barang bukti yang sah di mata hukum untuk menindak pelanggar.

Ada dua regulasi yang menjadi fondasi tilang E-TLE. Pertama, Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang tertera dalam pasal 272 ayat 1 dan 2.

Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, dan Penindakan Pelanggaran LLAJ yang tertera dalam pasal 28 butir 1-5.

Budiyanto menambahkan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memperkuat dasar hukum E-TLE untuk tilang, bahwa informasi, dokumentasi, dan hasil cetak elektronika dapat digunakan menjadi alat bukti pengadilan.

Bagi pelanggar, penindakan pertama akan dilakukan konfirmasi melalui pemberitahuan ponsel. Menurut Budianto ini diperlukan untuk menangkal salah sasaran pelanggaran.

Misalnya, pelanggar ternyata bukan pemilik kendaraan, atau bila pemilik sudah menjual mobil tapi belum ganti nama di BPKB. "Kami akan tanya apa iya tadi mobil melanggar dan benar bapak atau ibu yang mengendarai," ucapnya.

Jika sudah pasti, petugas akan menentukan jenis dan pasal yang dilanggar, kemudian membuat dan mengirimkan surat tilang kepada pelanggar melalui Pos Indonesia.

Setelah itu, pelanggar dapat membayar denda tilang melalui ATM, internet banking, atau datang langsung ke bank. "Kalau lewat dari seminggu tidak dibayar juga maka Petugas akan memblokir STNK pelanggar. Nanti pada saat membayar pajak tidak bisa sebelum tagihan denda tilangnya dilunasi.

Jika pelanggaran kembali dilakukan tanpa membayar denda tilang sebelumnya, tagihan bersifat akumulatif.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama